Acara Lounching HMPB

Acara Lounching HMPB
Diaula Kantor Desa Banyumulek

Selamat Datang di Bloger Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Banyumulek

Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh

Jumat, 23 Juli 2010

SERTIFIKASI DAN PROFESIONALISME GURU DI ERA REFORMASI PENDIDIKAN

Oleh : Hujair AH. Sanaky

ABSTRAK :

Profesionalisme guru, tentu harus terkait dan dibangun melelui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaannya sebagai guru. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah : Kompotensi profesional, yaitu kompetensi pada bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, metode pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Kompetensi sosial, yaitu kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, pengabdian masyarakat. Kompetensi personal, yaitu kompetensi nilai yang dibangun melalui perilaku yang dilakukan guru, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan serta guru yang gaul dan ”funky” sehingga menjadi dambaan setiap orang, sosok guru yang menjadi tauladan bagi siswa dan panutan masyarakat. Penilaia terhadap profesi guru tidak hanya sekedar pada aspek kualitas, administrasi dan manajemen saja, tetapi masalah guru lebih luas dan kompleks, menyangkut kemampuan profesional, personal, sosial termasuk perilaku dan kurangnya penghargaan yang layak terhadap profesi guru. Penilaian harus dilakukan oleh mereka yang memiliki kemampuan dan kompetensi pada bidang kependidikan.

1. PENDAHULUAN

Menghadapi pesatnya persaingan pendidikan di era global ini, semua pihak perlu menyamakan pemikiran dan sikap untuk mengedepankan peningkatan mutu pendidikan. Pihak-pihak yang ikut meningkatkan mutu pendidikan adalah pemerintah, masyarakat, stakeholder, kalangan pendidik serta semua subsistem bidang pendidikan yang harus berpartisipasi mengejar ketertinggalan maupun meningkatkan prestasi yang telah diraih. Dari pihak yang disebutkan di atas, dalam pembahasan tulisan ini yang disoroti hanya masalah “guru”, sebab ”guru menjadi fokus utama dari kritik-kritik atas ketidakberesan sistem pendidikan”. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa, “pada sisi lain guru juga menjadi sosok yang paling diharapkan dapat mereformasi tataran pendidikan. Guru menjadi mata rantai terpenting yang menghubungkan antara pengajaran dengan harapan akan masa depan pendidikan di sekolah yang lebih baik” [Naniek Setijadi, From: http://tpj. bpk penabur. or.id/..., , akses, selasa, 26 April 2005, jam 10.15].
Pandangan di atas, rasanya tidak mudah untuk menjadi guru dewasa ini, sebab guru menjadi fokus utama dari kritik-kritik permasalahan pendidikan di Indonesia. Menjadi guru merupakan profesi yang penuh dengan tantangan. Guru berhadapan dengan tuntutan kualitas profesi, amanah dari orang, masyarakat, stakeholder, pemerintah dan karena guru tetap dianggap memiliki akuntabilatas atas keberhasilan pembalajan akademis siswa. Guru juga berhadapan dengan tuntutan perubahan yang begitu cepat, seperti informasi yang begitu mudah diakses melalui internet yang sudah berang tentu akan mengubah aspek-aspek pendidikan konpensional yang selama ini ditekuni. Hal ini, tentu saja akan memaksa para guru untuk mengubah model dan metode belajar – mengajar yang selama ini ditekuni serta materi dan jenis tugas-tugas yang diberikan kepada murid.
Permasalahan guru di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai dan jelas hal ini ikut menentukan mutu pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional kita

Yang rendah, menurut beberapa pakar pendidikan, ”salah satu faktor penyebabnya adalah rendahnya ”mutu guru” itu sendiri di samping faktor-faktor yang lain. Maka, sebenarnya permasalahan guru di Indonesia harus diselesaikan secara komprehensif, yaitu menyangkut semua aspek yang terkait berupa kesejahteraan, kualifikasi, pembinaan, perlindungan profesi, dan administrasinya” [Baca: Purwanto, http://www. pustekkom.go.id/ teknodik/t10/10-7.htm]. Tetapi, ”setiap kali membedah mutu pembelajaran, guru selalu dijadikan kambing hitam. Terlebih dengan mutu pendidikan Indonesia yang terus terpuruk dibanding negara tetangga” [Kompas, 10 Maret 2004, dalam Naniek Setijadi, From:http://tpj.bpkpenabur.or.id/...,akses,selasa,26/4/2005,jam10.15]. Sumber permasalahan pendidikan di Indonesia, sebenarnya bukan hanya pada ”persoalan guru” saja, tetapi persoalan perhatian pemerintah dan masyarakat, dana, kurikulum, metologi, manajemen, pimpinan sekolah yang memiliki kemampuan profesional dan integritas dalam mengelola pendidikan.
Rendahnya kualitas tenaga kependidikan, merupakan masalaah pokok yang dihadapi pendidikan di Indonesia. Katakan saja sebagai contoh, motivasi menjadi tenaga pendidik [guru] di kebanyakan sekolah-sekolah Islam selama ini dikarenakan dan hanya dilandasi oleh faktor pengabdian dan keikhlasan, sedangkan dari sisi kemampuan, kecakapan dan disiplin ilmu dikatakan masih rendah [baca, Hujair, 2003: 226]. Hal ini, menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan Islam dan tentu mengalami kesulitan untuk memiliki keunggulan kompetitif. Maka, masalah pokok dalam pendidikan Islam pada dasarnya adalah masalah yang terkait dengan faktor kualitas tenaga guru [Asep Saeful Mimbar dan Agus Sulthonie, 25 Juli 2001]. Fazlur Rahman, menyatakan Indonesia, seperti halnya negeri-negeri Muslim besar lainnya, juga menghadapi masalah pokok dalam modernisasi pendidikan Islam : yaitu masalah kelangkaan tenaga yang memadai untuk mengajar dan melakukan riset. Lanjut Fazlur Rahman, bagaimana memproduksi tenaga seperti itu [Fazlur Rahman,1985:151]. Pandangan ini, menjadi tantang dan persolan bagi pendidikan Islam di Indonesia untuk berusaha membangun kualitas sumber dayanya.
Tuntutan sumber daya pendidikan yang berkualitas dan profesional menjadi suatu keharusan pada era global, informasi dan reformasi pendidikan. Indikator perubahan sekarang yang dapat diamati adalah sebagian guru mulai melanjutkan pendidikannya kejenjang S-2, sekolah-sekolah mulai nenerapkan kurikulum berbasisi kompetensi [KBK], mulai dan sudah berbenah menuju ”manajemen berbasis sekolah” [MBS] yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah. Dengan demikian, ”sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan perioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat” [E. Mulyasa, 2002:24]. Maka, dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, menuntut sumber daya [pimpinan, guru, dan tenaga administrasi] yang memiliki kemampuan profesional dan integritas dalam mengelola pendidikan. Pelaksanaan program-program pendidikan didukung dengan kepemimpinan yang demokratis dan profesional, guru-guru yang profesional dan memiliki kompetensi dalam bidangnya masing-masing, serta tenaga administrasi profesional dalam pengelolaan administrasi pendidikan [Hujair, 2003: 226]. Laporan Bank Dunia [1999], bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan [persekolahan] di Indonesia adalah “kurang profesionalnya” para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan [dalam Hujair, 2003:226].
Program peningkatan kemampuan sumber daya pendidikan berupa training for trainers atau kemampuan untuk belajar terus menurut untuk meningkatkan kualitas bagi para pendidik [guru] merupakan suatu fokus dan tuntutan yang perlu diperhatikan. Dengan kata lain, lembaga-lembaga pendidikan harus melakukan investasi secara periodik bagi para guru jika ingin tetap memimpin di dunia pendidikan, karena apabila gagal dalam investasi guru akan berakibat patal [Hujair, 2003: 227] dalam persaingan

Merebut animo pengguna pendidikan sebagai pengakuan terhadap kualitan lembaga pendidikan tersebut. Sebagai contoh, indikator pengakuan terhadap kualitas dan kemampuan guru, bukan hanya datang dari jalur struktural/jabatan dan bukan juga dari jenjang karir fungsional seperti asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar yang rigid, tetapi reward dan penghargaan yang lebih besar akan lebih banyak diperoleh dari pengakuan dan penghargaan yang diberikan langsung oleh masyarakat, karena kemampuan akademik dan profesionalisme guru [Onno W. Purbo,16 Mei 2002] itu sendiri. Untuk itu, semuanya akan dikembali kepada masyarakat profesional yang memiliki kompetensi serta kapasitas yang akan menilai kualitas dan kompetsni guru.
Tuntutan profesionalisme guru tentu harus terkait dan dibangun melelui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaannya sebagai guru. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah : Kompotensi profesional, yaitu kompetensi pada bidang substansi atau bidang studi [kurikulum], kompetensi bidang pembelajaran [menguasai materi pelajaran], teknik dan metode pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Kompetensi sosial, yaitu kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, mampu menyelesaikan masalah, pengabdian pada masyarakat. Kompetensi personal, yaitu kompetensi nilai yang dibangun melalui perilaku yang dilakukan guru, komitmen pada tugas, berdisiplin tinggi, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan serta guru yang gaul dan ”funky” sehingga menjadi dambaan setiap orang, sosok guru yang menjadi tauladan bagi siswa dan panutan masyarakat.

2. PROFESIONALISME GURU

Berbicara tentang profesional guru sangat komprehensif. Profesi guru harus dilihat dari kemampuan menguasai kurikulum, materi pembelajaran, teknik dan metode pembelajaran, kemampuan mengelola kelas, sikap komitmen pada tugas, harus dapat menjaga kode etik profesi, di sekolah ia harus menjadi "manusia model" yang akan ditiru siswanya, di masyarakat menjadi tauladan. ”Dalam Jurnal Education Leadership [terbit Maret 1994], ada lima ukuran seorang guru dinyatakan profesional, yaitu : Pertama, memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Kedua, secara mendalam menguasai bahan ajar dan cara mengajarkan. Ketiga, bertanggung jawab memantau kemampuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi. Keempat, mampu berpikir sistematis dalam melakukan tugas dan kelima, seyogianya menjadi bagian dari masyarakat belajar di lingkungan profesinya”[P. Ruspendi, 2004, From:http://www.pikiran-rakyat.com..., akses, selasa 26/4/2005, jam 10.30].
"Malcon Allerd" [Kompas, 12 September 2001] mengatakan, bahwa selain kelima aspek itu, sifat dan kepribadian guru amat penting artinya bagi proses pembelajaran adalah adaptabilitas, entusiasme, kepercayaan diri, ketelitian, empati, dan kerjasama yang baik. Guru juga dituntut untuk mereformasi pendidikan, bagaimana memanfaatkan semaksimal mungkin sumber-sumber belajar di luar sekolah, perombakan struktural hubungan antara guru dan murid, seperti layaknya hubungan pertemanan, penggunaan teknologi modern dan penguasaan iptek, kerja sama dengan teman sejawat antar sekolah, serta kerja sama dengan komunitas lingkungannya [P. Ruspendi, 2004, Ibid].
Pandangan ini, menunjukkan bahwa betapa tingginya profesionalisme guru, tetapi apabila dilihat dari kondisi guru yang ada mulai dari aspek kemampuan, kesejahteraan dan fasilitas yang memadai, terasa sulit bagi guru untuk survive mengikuti tuntutan ini. Dengan demikian, profesionalisme guru tidak hanya berpulang pada guru itu sendiri, tetapi diperlukan political will dari pemerintah, dukungan, penghargaan, perbaikan kesejahteraan dan peningkatan kualitas melalui in service training. Maka, untuk lebih jelas menurut hemat penulis, perlu mencermati perkemabangan dan permasalahan

Profesi guru, kompetensi penting profesi guru, dan upaya meningkatkan profesionalisme guru.

A. PERKEMABANGAN DAN PERMASALAHAN PROFESI GURU
Profesi guru adalah termasuk profesi yang tua di dunia. Pekerjaan mengajar telah ditekuni orang sejak lama dan perkembangan profesi guru sejalan dengan perkembangan masyarakat. Pada zaman prasejarah proses belajar mengajar berlangsung melalui pengamatan dan dilakukan oleh keluarga [Purwanto, From: http://www.pustekkom..., akses, 14/2/2005]. Proses pembelajaran dilakukan one-to-one dari rumah kerumah dan di tempat-tempat ibadah. Katakan saja, sistem dan model pembelajaran lebih bercorak individual, artinya para murid belajar secara individual pada guru satu persatu. Tuntutan profesi guru juga mengukuti perkembangan dan model pembelajaran pada saat itu. Pada saat sekarang ini, sejalan dengan perkembangan sistem persekolahan, maka profesi guru juga telah dan terus mengalami perubahan mengikuti tuntutan perubahan tersebut
Profesi guru pernah menjadi profesi penting dalam perjalanan bangsa ini dalam menanamkan nasionalisme, menggalang persatuan dan berjuang melawan penjajahan. Profesi guru pada zaman dulu merupakan profesi yang paling bergensi dan menjadi dambaan bagi generasi muda pada saat itu. Tetapi, ”sayangnya pada beberapa dekade yang lalu dan masih berlanjut sampai kini “profesi guru dianggap kurang bergengsi”, kinerjanya dinilai belum optimal dan belum memenuhi harapan masyarakat. Persoalan guru semakin menjadi persoalan pokok dalam pembangunan pendidikan yang disebabkan oleh adanya tuntutan perkembangan masyarakat dan perubahan global. Hingga kini persoalan guru belum pemah terselesaikan secara tuntas” [Purwanto, http://www.pustekkom...akses,14/2/2005]. Patutu diakui, bahwa guru selalu diberikan beban dan tanggung jawab yang berat dalam usaha mendidik anak bangsa, tetapi ”perhatian” pada profesi mereka, berupa peningkatan kualitas melalui pelatihan, inservice training profesi, reward dan penghargaan yang memadai belum optimal diberiakan pada mereka. Para pengamat dan penilai pendidikan dengan kapasitas ilmunya dengan mudah memberikan kritik terhadap “profesi guru” yang dianggap kurang bergengsi, kinerjanya yang dinilai belum optimal dan belum memenuhi harapan masyarakat, tetapi solusi jalan keluar yang bersifat ”action” belaum optimal diberikan pada mereka berupa pelatihan pada bidang pengetahuan dan keterampilan baru secara periodik. Prof. Suyanto, memberikan contoh dengan negara Singapura, para guru selalu mendapatkan pelatihan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan baru yang diperlukan oleh guru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap tahun mereka mendapatkan hak untuk memperoleh in service training selama 33 jam. Itulah sebabnya guru mereka selalu dapat dipertahankan profesionalismenya dan mutu pendidikan mereka menduduki peringkat kedua setelah Korea Selatan di antara 12 negara di Asia [Suyanto, 2004, From:http://www.Suara merdeka.com..., selasa 26 april 2005, jam.10.30].
Pada era reformasi dan disentralisasi pendidikan saat ini, guru semestinya dapat lebih mendapatkan pemberdayaan baik dalam arti profesi maupun kesejahteraan. Mengapa? Karena saat ini pendidikan menjadi urusan pemerintah daerah, sehingga berbagai persoalan yang terkait dengan profesionalisme dan kesejahteraan guru tentu dapat langsung dipantau oleh pemerintah daerah [Suyanto,From:http://www.Suara merdeka.com. Ibid]. Tetapi usaha kerah itu, belum terlihat secara nyata dilakukan oleh pemerintah, sementara guru selalu dihadapkan pada tuntutan profesionalisme dan harus mengikuti perubahan yang terjadi begitu cepat di masyarakat. Katakan saja, guru sekarang berhadap dengan kondisi ”ekstrim” yaitu akan terjadi percepatan ilmu pengetahuan melalui informasi internet dan media yang lain. Siswa atau mahasiswa, mungkin akan memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada guru. Guru, tidak lagi dapat

Memaksa pandangan dan kehendaknya, karena mungkin para siswa atau mahasiswa telah memiliki pengetahuan yang lebih dari infromasi yang mereka peroleh. Sebab ilmu pengetahuan akan terbentuk secara kolektif dari banyak pemikiran dan pandangan yang tersosialisasi melalui media informasi internaet dan media informasi lainnya [Hujair , 2004: 95]. Misalnya saja, kalau dulu siswa hanya menerima materi dari sumber tunggal, yakni guru. Tetapi, kini siswa akan menerima materi dari ”banyak sumber”. Guru, bukan lagi satu-satunya sumber belajar, karena siswa dapat belajar dari siapa saja dengan bahasa yang mereka kuasai [baca : Mastuhu,1999 : 34]. Sekarang ini, siswa dapat belajar dari internet, cd-rom, media masa, dan media lain, yang akan menjadi pusat kegiatan belajar mandiri. P. Ruspendi [guru SMA Pasundan Majalaya], menceritakan seorang guru di Jakarta yang harus mengajar anak-anak orang kaya. Murid-murid yang diajarnya sudah dapat menggunakan komputer, internet, bahasa Inggris, dan berwawasan luas, disebabkan orang tuanya langganan koran, akibatnya sang guru tersebut ”merasa minder” [P.Ruspendi, 2004, Ibid].
Berdasarkan cerita ini, maka mau tidak mau, senang tidak senang, siap tidak siap guru harus mengikuti tuntutan perubahan tersebut. Apabila tidak, maka guru akan terpinggirkan dalam percaturan era perubahan saat ini. Oleh karenanya, ”untuk menghadapi semua tantangan ini, kemampuan profesional guru harus teruji. Artinya, guru tidak cukup hanya dengan penguasaan materi mata pelajaran saja tidak, tetapi guru diharapkan bertanggungjawab atas pengembangan profesinya secara terus-menerus, ”tidak “gaptek” [gagap teknologi] dan harus benar-benar menguasai teknologi pembelajaran termasuk penggunaan komputer dan teknologi lainnya untuk proses belajar mengajar dan pengembangan profesi” [Naniek Satijadi, 2004, From: http://tpj.bpkpenabur.or.id..., akses, selasa, 26/4/ 2005, jam 10.15]. Guru sekarang, harus menguasai kemampuan akademik, pedagogik, sosial dan budaya, teknologi informasi, mampu berpikir kritis, mengikuti dan tanggap terhadap setiap perubahan serta mampu menyelesaikan masalah. ”Guru tidak hanya datang ke sekolah melulu untuk mengajar saja sebagai tugas rutinitas dan kemampuan untuk mengelola kelas saja juga tidak cukup lagi. Tetapi, guru diharapkan dapat menjadi pemimpin dan sebagai agen perubahan yang mampu mempersiapkan anak didik agar siap menghadapi tantangan perubahan global dan era informasi di luar sekolah” [baca: Naniek Satijadi, 2004, Ibid].
”Profesi guru di abad 21 ini sangat dipengaruhi oleh pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi. Guru dengan kemampuan artifisialnya dapat membelajarkan siswa dalam jumlah besar, bahkan dapat melayani siswa yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Guru bukan lagi hanya mengendalikan siswa yang belajar di kelas, tetapi ia mampu membelajarkan jutaan siswa di "kelas dunia" memberi pelayanan secara individual pada waktu yang bersamaan. Sementara itu dengan bantuan teknologi informasi internet pembelajaran dapat dilakukan secara multiakses dan memberi layanan secara individual di mana saja, kapan saja dan di tempat di mana mereka berbeda [Purwanto, http://www.pustekkom. go.id...Ibid]. Maka, dengan teknologi informasi internet, ilmu pengetahuan dapat di transmisikan pada kecepatan tinggi. Tuntutan kemampuan” dan “kesempatan” untuk mengakumulasi, mengolah, menganalisis, mensintesa data menjadi informasi, kemudian menjadi ilmu pengetahuan yang bermanfaat sangatlah penting artinya dalam dunia informasi saat ini [Hujair, 2004:91]. Kondisi ini, akan berpengaruh pada kebiasaan dan budaya guru yang selama ini dilakukan. Sebab, ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan karena diperoleh melalui sarana “internet” dan “media informasi” lainnya. “Paradigma ini dikenal sebagai distributed intelligence [distributed knowledge] dan dengan paradigma ini, tanpaknya fungsi guru/dosen/lembaga-lembaga pendidikan yang akhirnya akan beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi ”mediator” dari ilmu pengetahuan. Maka, proses

Long life learning dalam dunia informal yang sifatnya lebih learning based daripada teaching based akan menjadi kunci perkembangan sumber daya manusia. Pada posisi ini, peran web, Homepage, Search Engine, CD-ROM tentu akan merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge [Onno W. Purbo, 2000, Form: http://www.detik.com/onno/jurnal/200004/aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml]. Tuntutannya, para guru harus benar-benar memiliki kemampuan dan kesempatan untuk menyesuaikan, mengakses dan dapat menggunakan sarana teknologi informasi sebagai media pembelajaran.
Dapat dikatakan bahwa persoalan guru di Indonesia sangat terkait dan terletak pada masalah-masalah kualifikasi yang rendah, kemampuan profesional, pembinaan yang terpusat, perlindungan profesi yang belum memadai dan perseberannya yang tidak merata sehingga menyebabkan kekurangan guru di beberapa lokasi. Segala persoalan guru tersebut timbul oleh karena adanya berbagai sebab dan masing-masing saling mempengaruhi [Purwanto, http://www.pustekkom...,Ibid]. Dengan demikian, permasalahan guru, baik secara langsung maupun tidak langsung sangat terkait dengan mutu profesionalisme guru yang dianggap ”belum optimal”. Oleh karena itu, permasalah guru harus diselesaikan secara komprehensif yang menyangkut dengan semua aspek yang terkait yaitu aspek kualifikasi, kualitas, pembinaan, training profesi, perlindungan profesi, manajemen, kesejahteraan guru dan fasilitas.

B. KOMPETENSI PENTING PROFESI GURU

Profesionalisme guru dibangun melalui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaannya sebagai guru. ”Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah kompetensi bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, kompetensi bidang pendidikan nilai dan bimbingan serta kompetensi bidang hubungan dan pelayanan/pengabdian masyarakat. Pengembangan profesionalisme guru meliputi peningkatan kompetensi, peningkatan kinerja [performance] dan kesejahteraannya. Guru sebagai profesional dituntut untuk senatiasa meningkatkan kemampuan, wawasan dan kreativitasnya” [Purwanto, http://www.pustekkom...,Ibid] masing-masing yang saling mempengaruhi. Depdiknas, 2001, merumuskan beberapa kompetensi atau kemampuan yang sesuai seperti kompetensi kepribadian, bidang studi, dan pendidikan dan pengajaran [Paul Suparno, 2004:47].
Masyarakat dan orang tua murid telah mempercayakan sebagian tugasnya kepada guru. Tugas guru yang diemban cukup mulia dan berat, karena dari limpahan tugas masyarakat dan orang murid tersebut, antara lain adalah kemampuan guru mentransfer pengetahuan dan kebudayaan dalam arti luas, keterampilan menjalani kehidupan [life skills], nilai-nilai [value] dan beliefs [baca:Purwanto, http://www.pustekkom..., Ibid]. Dari life skills ini, guru diharapkan dapat menciptakan suatu kondisi proses pembelajaran yang didasarkan pada leaning competency, sehingga outputnya jelas. Dari sini, guru dengan kemampuannya diharapkan dapat mengembangkan dan membangun tiga pilar keterampilan, yaitu : [1] Learning skills, yaitu keterampilan mengembangkan dan mengola pengetahuan dan pengalaman serta kemampuan dalam menjalani belajar sepanjang hayat. [2] Thinking skills, yaitu keterampilan berpikir kritis, kreatif dan inovatif untuk menghasilkan keputusan dan pemecahan masalah secara optimal. [3] Living skills, yaitu keterampilan hidup yang mencakup kematangan emosi dan sosial yang bermuara pada daya juang, tanggungjawab dan kepekaan sosil yang tinggi [Sudjarwadi, KR, 5 -1-2003, dalan Hujair, 2003: 199]. Selain itu, guru sebagai pendidik bukan hanya mampu mentransfer pengetahuan, keterampilan dan sikap saja, tetapi guru juga dilimpahkan tugas padanya untuk mempersiapkan generasi yang lebih baik di masa depan. Apabila dicermati, sungguh berat tugas guru, tetapi penghargaan pada profesi guru kurang optimal dan selalu dinilai kinerjanya rendah. Apapun itu semua, mau tidak mau, guru harus memiliki kompetensi yang optimal dalam usaha membimbing siswa agar dapat siap menghadapi kenyataan hidup [the real life] dan bahkan mampu memberikan contoh tauladan bagi siswa, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan dan menjadi dambaan setiap orang.
Guru akan berhadapan dengan persoalan yang serius yaitu sekolah akan berubah dari format kelas menjadi selolah bersama dalam satu kota, sekolah bersama dalam satu negara, bahkan bersama di dunia atau sekolah global. Maka, dapat dikatakan dengan kemajuan teknologi informasi, sekolah bersama yang diikuti oleh siswa dalam jumlah besar tersebut dapat terlaksana. Indikator ini, terbukti dengan kemajuan “teknologi informasi dewasa ini sudah mampu meraih semua titik yang terpencil sekalipun dan masyarakat mulai belajar serta mendapatkan informasi dan ilmu dari berbagai sumber seperti radio, televisi, komputer internet, media masa dan media yang lain. Sekolah sebagai “institusi pendidikan” mungkin akan tergeser perannya dan sudah tidak menjadi sumber informasi satu-satunya, bahkan bukan lagi menjadi pencetus sumber informasi yang mutakhir. Kata kuncinya adalah “harus berubah”, karena apabila tanpa adanya kesadaran untuk malakukan perubahan, perkembangan kemajuan dunia akan menjadi ancaman untuk menjadikan sekolah sebagai lembaga usang [Winarno Surakhmad, From:http://www.Bpkpenabur.or.id..., Ibid].
Kondisi pembelajar yang disebutkan di atas akan berpengaruh pada rutinitas kehadiran guru secara fisik di kelas. Artinya, kehadiran guru ”secara fisik” dalam ruangan yang di sebut kelas, mungkin tidak lagi menjadi keharusan dan yang menjadi keharusan adalah adanya perhatian dan aktivitas secara mandiri terhadap sesuatu persoalan yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi interaktif. Sejalan dengan perubahan format belajar klasikal ke belajar bersama secara global tapi mandiri tersebut, dapat dipastikan bahwa peran guru juga akan berubah. Selain itu, peran guru di Indonesia juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan desentralisasi dan atau otonomi pendidikan. Dari kondisi ini, maka kemampuan guru di masa depan, dituntut harus mengusai dan mampu memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi. Guru harus berubah peran menjadi fasilitator yang membelajarkan siswa sampai menemukan sesuatu [scientific curiosity'], bersikap demokratis serta menjadi profesional yang mandiri dan otonom [baca: Purwanto, http://www.pustekkom.go.id…, Ibid]. Proses pembelajaran lebih terfokus pada outcomes competency dan peningkatan relevansi dengan kebutuhan masyarakat [Hujair, 2003:199]. Maka, peran guru seperti itu sejalan dengan era masyarakat madani [civil society] yaitu masyarakat demokratis, plural, taat hukum, menghargai hak asasi manusia.
Dari paparan di atas, pertanyaan kompetensi profesi yang harus dimiliki seorang guru. Kompetensi penting profesi guru adalah: Pertama, kompetensi pada bidang studi dan pendidikan/pengajaran, yaitu mengharuskan guru untuk menguasai kurikulum, menguasai materi pelajaran, menguasai teknik dan metode mengajar. Kemampuan pada bidang studi, yaitu ”menuntut pemahaman pada karakteristik dan isi bahan ajar, menguasai konsepnya, mengenal betul metologi ilmu tersebut, memahami konteks ilmu tersebut dengan masyarakat, lingkungan dan dengan ilmu lain. Jadi, guru tidak cukup hanya mendalami ilmuny sendiri tetapi bagaimana dampak dan relasi ilmu tersebut dalam kehidupan masyarakat dan dengan ilmu yang lain [Paul Suparno, 2004: 51]. Dengan demikian, guru diharpkan memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Sedangkan kemampuan guru dalam bidang pembelajaran/pendidikan, yaitu guru harus memiliki ”pemahaman akan sifat, ciri anak didik dan perkembangannya, mengerti beberapa konsep pendidikan yang berguna untuk membantu siswa, menguasai beberapa metode mengajar yang sesuai dengan materi pelajaran dan perkembangan siswa, menguasai sistem evaluasi yang tepat dan baik ”[Paul Suparno, 2004: 52]. Kedua, kompetensi sosial, yaitu kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, dapat berkomunikasi dengan orang lain, mampu menyelesaikan masalah, pengabdian pada masyarakat. Ketiga, kompetensi persolan atau kepribadian ”mencakup aktualisasi diri, kepribadian yang utuh, berbudi luhur, jujur, dewasa, beriman, bermoral, peka, objektif, luwes, berwawasan luas, berpikir kreatif, kritis, refletif, mau belajar sepanjang hayat”. [Depdiknas, 2001, dalam Paul Suparno, 2004: 47], mengikuti perubahan, komitmen pada tugas, berdisiplin tinggi, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan serta guru yang gaul dan ”funky” sehingga menjadi dambaan setiap orang, sosok guru yang menjadi tauladan bagi siswa dan panutan masyarakat.
Tuntutan ke dapan, guru harus diuji kompetensinya secara berkela untuk untuk menjamin agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus berkembanga. Maka, dapat dipastikan bahwa profil kelayakan guru akan ditekankan kepada aspek-aspek kemampuan membelajarkan siswa, yang dimulai dari kemampuan menganalisis, merencanakan atau merancang, mengembangkan, dan menilai pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan. Maka, ”kemampuan-kemampuan yang selama ini harus dikuasai guru juga akan lebih dituntut ”aktualisasinya”. Misalnya saja, kemampuannya dalam merencanakan pembelajaran dan merumuskan tujuan, mengelola kegiatan individu, menggunakan multi metoda, dan memanfaatkan media, berkomunikasi interaktif dengan baik, memotivasi dan memberikan respons, melibatkan siswa dalam aktivitas, mengadakan penyesuaian dengan kondisi siswa, melaksanakan dan mengelola pembelajaran, menguasai materi pelajaran, memperbaiki dan mengevaluasi pembelajaran, memberikan bimbingan, berinteraksi dengan sejawat dan bertanggungjawab kepada konstituen serta, mampu melaksanakan penelitian” [Purwanto, http://www.pustekkom..., Ibid].
Untuk dapat mengelola pembelajaran yang efektif dan, guru harus senan tiasa belajar dan meningkatkan keterampilan dasarnya mengajar. Rosenshine dan Stevens, mengemukakn sembilan keterampilan dasar mengajar yang penting dikuasai guru, yaitu keterampilan membuka pembelajaran dengan mereview secara singkat pelajaran terdahulu yang terkait dengan pelajaran yang akan diajarkan, menyajikan tujuan pembelajaran, menyajikan materi dalam langkah-langkah kecil dan disertai latihannya masing-masing, memberikan penjelasan dan keterangan yang jelas dan detail, memberikan latihan yang berkualitas, mengajukan pertanyaan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pemahamannya, membimbing siswa menguasai keterampilan atau prosedur baru, memberikan latihan dan koreksi, memonitor kemajuan siswa [Rosenshine dan Stevens, 1986, Purwanto, http://www.pustekkom..., Ibid]. Selain itu, guru harus melibatkan siswa dalam upaya merumuskan konsep map mata pelajaran yang diajarkan, merumuskan tujuan pembelajaran atau learning objective, merumuskan materi-matei pembelajaran, buku atau referensi yang digunakan, metode dan strategi pembelajaran yang digunakan, dan sistem penilaian yang digunakan.
Dengan demikian, langkah-langkah dalam upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru: Pertama, guru harus menguasai kemampuan-kemampuan dan keterampilan dasar pembelajaran secara baik. Kedua, guru berusaha meningkatkan kualitasnya dengan mengikuti pelatihan dalam bidang keterampilan baru yang diperluakn guru sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, harus mau membuat penilaian atas kinerjanya sendiri atau mau melakukan otokritik terhadap kinerjanya sendiri. Keempat, kritik yang membangun, pendapat dan berbagai harapan masyarakat harus menjadi perhatian sebagai upaya perbaikan kinerja guru. Kelima, guru harus berusaha memperbaiki profesionalismenya sendiri dan masyaraakat hanya membantu mempertajam dan menjadi pendorong untuk meningkatkan profesi guru.
c. Upaya Guru Meningkatkan Profesionalisme Suyanto, menyatakan bahwa ”banyak program pendidikan baru yang inovatif diberlakukan oleh pemerintah dalam waktu paling tidak lima tahun terakhir ini, seperti broad based education, life skills, manajemen pendidikan berbasis sekolah, contextual teaching-learning [CTL], evaluasi belajar model portofolio, dan yang terakhir Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Semua itu kurang atau bahkan tidak mengikutsertakan guru sebagai variabel penting dalam pelaksanaan program-program itu, padahal semua program baru itu bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Lantas, bagiamana peran guru kita dalam pembaharuan dan inovasi pendidikan itu? Inilah persoalannya. Dengan banyaknya program baru itu, semestinya para guru didorong untuk memiliki profesionalisme yang lebih tinggi. Upaya peningkatan kualitas guru, seharusnya juga diikuti dengan kesejahteraan yang lebih memadai, tetapi kenyataan tidaklah seperti itu dan banyaknya program baru itu justru menambah beban kerja guru. [Suyanto, 2004, From:http://www.Suara merdeka.com..., Ibid].
Lebih lanjut Suyanto menyatakan, ”penggagas pembaharuan pendidikan memiliki asumsi, bahwa guru dengan serta merta dapat melakukan apa saja yang menjadi program pembaharuan yang dicanangkan pemerintah. Menurutnya, asumsi inilah yang tidak benar. Sebab, kenyataannya guru harus mendapatkan retraining yang memadai dan tersistem untuk dapat melakukan berbagai pembaharuan dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah perlu melihat kembali kemampuan riil yang dimiliki guru untuk melakukan atau mengadopsi setiap inovasi dibidang pendidikan[Suyanto, 2004, From:http://www.Suara merdeka.com..., Ibid]. Maka, upaya peningkatan profesionalisme guru pada akhirnya harus terpulang dan ditentukan oleh para guru itu sendiri serta harus dimulai sejak awal rekruting guru. Hal ini, sebagaimana pernah disampaikan Ketua Umum PGRI, Muhammad Surya, bahwa pengembangan profesionalisme guru seharusnya sudah dimulai sejak masa perekrutan. Selain itu perlu didukung fasilitas yang memadai. Perbaikan kesejahteraan guru merupakan agenda penting yang tidak bisa ditinggalkan [Kompas, 30 Januari 2003].
Dengan adanya tuntutan untuk peningkatan kualitas profesionalisme guru, maka guru harus selalu berusaha melakukan hal-hal sebagai berikut : Pertama, memahami tuntutan standar profesi yang ada, yaitu guru berupaya memahami tuntutan standar profesi yang ada dan ditempatkan sebagai prioritas utama jika guru ingin meningkatkan profesionalismenya. Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan, yaitu [1] persaingan global sekarang memungkinkan adanya mobilitas guru secara lintas negara, [2] sebagai profesional seorang guru harus mengikuti tuntutan perkembangan profesi secara global, dan tuntutan masyarakat yang menghendaki pelayanan vang lebih baik, [3] untuk memenuhi standar profesi ini, guru harus belaiar secara terus menerus sepanjang hayat, [4] guru harus membuka diri, mau mendengar dan melihat perkembangan baru di bidangnya. Kedua mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan, artinya upaya untuk mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan bagi guru. Maka, dengan dipenuhinya kualifikasi dan kompetensi yang memadai, guru memiliki posisi tawar yang kuat dan memenuhi syarat yang dibutuhkan. Ketiga, membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas termasuk lewat organisasi profesi. Upaya membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas dapat dilakukan guru dengan membina jaringan kerja atau networking. Guru harus berusaha mengetahui apa yang telah dilakukan oleh sejawatnya yang sukses. Sehingga bisa belajar untuk mencapai sukses yang sama atau bahkan bisa lebih baik lagi. Melalui networking inilah guru memperoleh akses terhadap inovasi-inovasi di bidang profesinya dan akses sosial yang lainnya. Keempat, mengembangkan etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan bermutu tinggi kepada pengguna pendidikan, merupakan suatu keharusan di era reformasi pendidikan sekarang ini. Artinya, semua sektor dan bidang dituntut memberikan pelayanan prima kepada kastemer atau pengguna. Maka, Guru pun harus memberikan pelayanan prima kepada pengguna yaitu siswa, orangtua dan sekolah sebagai stakeholder. Terlebih lagi pelayanan pendidikan adalah termasuk pelayanan publik vang didanai, diadakan, dikontrol oleh dan untuk kepentingan publik. Dengan demikian, guru harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. Kelima, mengadopsi inovasi atau mengembangkan kreativitas dalam pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir agar guru senantiasa tidak ketinggalan tidak “gaptek” [gagap teknologi] dalam kemampuannya mengelola pembelajaran. Guru dapat memanfaatkan media dan ide-ide baru bidang teknologi pendidikan seperti media presentasi dengan menggunakan LCD dan komputer [hard technologies] dan juga pendekatan-pendekatan baru bidang teknologi pendidikan [soft technologies] [baca : Purwanto, http://www.pustekkom..., Ibid], menggunakan internet sebagai media pembelajaran. Sebab, perkembangan teknologi “informasi dan internet” merupakan faktor pendukung utama percepatan yang memungkinkan tembusanya batas-batas dimensi ruang dan waktu yang tentu juga akan berpengaruh pada paradigma pendidikan termasuk profesi guru dalam menjalankan tugasnya.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta perubahan masyarakat yang lebih demokratis, terbuka dan era reformasi pendidikan akan menghasilkan suatu tekanan atau pressure dan tuntutan terhadap profesionalisme guru dalam mendayagunakan teknologi komunikasi informasi tersebut, termasuk dalam hal pertanggungjawaban atau akuntabilitasnya profesinya, sebab profesi guru termasuk profesi yang kompetitif. Dengan demikian, guru harus siap dan bersedia untuk diuji kompetensinya secara berkala untuk menjamin agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus berkembang. Sebab, di masa depan dapat dipastikan bahwa profil kelayakan guru akan ditekankan kepada aspek-aspek kemampuan membelajarkan siswa yang dimulai dari merencanakan atau merancang, menganalisis, mengembangkan, mengimplementasikan dan menilai pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan.

C. PERSOALAN SERTIFIKASI GURU

Masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai yang dikemuakakan di atas, diperlukan upaya peningkatan terhadap profesionalisme guru tersebut. Diperlukan upaya penilaian terhadap kinerja guru secara berkala untuk menjamin agar kinerja guru tetap memenuhi syarat profesionalisme. Tanpaknya, Menteri Pendidikan Nasional, akan mencanangkan guru yang profesional. Tetapi, wacana yang mencuat ini terkait dengan rencana kebijakan tersebut adalah sertifikasi dan uji kompetensi guru, sebagai suatu wujud langkah untuk meningkatkan kualitas guru. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, tanpaknya pemerintah memandang perlu pembentukan sebuah badan independen profesi guru yang akan menilai profesionalisme guru. Badan tersebut, nantinya akan mengeluarkan sertifikat bagi para guru yang dinilai memiliki kompetensi atau memenuhi persyatanan sebagai profesi guru. Rencana tersebut, akan dikuatkan dengan keputusan presiden dan kini sedang digodok oleh tim kecil dengan unsur di antaranya Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan [LPTK] dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional [Kompas, Rabu, 24 November 2004].
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan bahwa badan independen tersebut nantinya berada di luar LPTK dan anggotanya juga tidak harus berprofesi sebagai guru, tetapi siapa saja yang memiliki keperdulian dan integritas untuk itu dapat menilai dan menjaga kewibawaan profesi guru. Badan tersebut mewakili stakeholder atau kepentingan publik, mulai dari pengguna, penyedia, pengatur, dan pengawas tenaga kependidikan. Lebih lanjut menurutnya, bahwa program dan penetapan kelulusan pendidikan profesi, juga ditentukan oleh badan profesi tersebut dan akan disusun persyaratan sehingga tidak semua LPTK dapat menyelenggarakan pendidikan profesi tersebut [Kompas, 24 November 2004]. Kebiajakan ini, tentu akan berdampak serius pada lembaga-lembaga pendidikan yang memproduk tenaga keguruan, karena lembaga-lembaga pendidikan yang berkualifikasi sajalah yang dapat dibenarkan untuk mendidik para calon guru.
”Para calon guru harus mencapai gelar sarjana dahulu baru kemudian mengambil profesi guru dan untuk menjaga kualitas profesi guru direncanakan semacam lisensi guru yang tidak berlaku selamanya, tetapi harus diperbaharui dalam jangka waktu tertentu. Lisensi guru dapat dicabut jika guru tersebut membuat kesalahan atau melanggar kode etik profesinya” [Kompas, 24 November 2004]. Kebijakan ini, perlu dihargai bagi pihak-pihak yang terlibat dalam dunia Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, karena kebijakan tersebut untuk mengangkat harkat dan wibawa guru, sehingga lebih dihargai oleh pemakai tenaga profesi ini yang juga akan diikuti dengan standar gaji dan penghargaan yang layak bagi guru yang memiliki sertifikat tersebut.
Tetapi, dalam kebijakan tersebut ada hal yang perlu dicermati yaitu ”badan independen sertifikasi guru” tersebut berada di luar Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan [LPTK]. Artinya anggotanya juga tidak harus berprofesi sebagai guru, tetapi siapa saja yang diambil dari unsur-unsur yang ”tidak berprofesi guru”, tetapi memiliki keperdulian dan integritas untuk dapat menilai dan menjaga kewibawaan guru. Hal ini, tentu akan menjadi tantangan dan persoalan serius bagi orang yang memiliki profesi guru itu sendiri dan mungkin juga guru yang sekarang sudah mengajar akan dinilai ulang oleh lembaga tersebut. Suatu hal yang sangat ironis sekali, guru-guru akan dinilai oleh ”badan independen sertifikasi guru” yang tidak memiliki kompetensi kependidikan. Dr. Abdorrahman Gintings, pengamat pendidikan dari Universitas Buya Hamka [Uhamka], menyatakan bahwa sungguh sangat tidak professional jika masyarakat terkait [guru dan pengelola pendidikan] tidak diajak bicara dan juga tidak tepat jika nantinya keanggotaan badan independen sertifikasi guru dapat diambil dari unsur-unsur yang tidak berprofesi guru yang kelak mengeluarkan sertifikasi bagi guru yang dianggap kompeten [Kompas, 26 Nopember 2004].
Penilaian terhadap profesi guru mungkin dapat dilakukan oleh badan tersebut dengan baik, tetapi hasilnya mungkin kurang valid dan akurat, karena kemampuan guru dinilai oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang kependidikan dan keguruan. Sebab, penilaia terhadap profesi guru tidak hanya sekedar pada aspek kualitas, administrasi dan manajemen saja, tetapi masalah guru lebih luas dan kompleks yaitu menyangkut dengan kemampuan profesional, personal, sosial termasuk perilaku dan kurangnya penghargaan yang layak terhadap profesi guru.
Abdorrahman Gintings, mencontohkan bagaimana tingginya pengetahuan seseorang tentang medis, tetapi dia bukan dokter, tetap tidak pantas ikut menyertifikasi profesi dokter [Kompas, 26 Nopember 2004]. Begitu juga sertifikasi guru, bagaimana tingginya pengetahuan seseorang tentang pendidikan, tetapi dia bukan berprofesi sebagai guru, maka tidak pantas ikut menyertifikasi profesi guru. Guru yang setiap harinya menggeluti profesinya dalam proses belajar mengajar dan tahu betul tentang prinsip-prinsip keguruan yang memiliki kompetensi atau memenuhi persyaratan untuk profesinya itu yang pantas dan layak dilibatkan dalam “badan independen sertifikasi guru” untuk melakukan sertifikasi terhadap guru dan bukan dari unsur-unsur yang tidak memiliki profesi sebagai guru. Maka, menurut Abdorrakhman, jika kebijakan ini “dipaksakan, maka pemerintah bakal melecehkan dan mengusik nurani 2,2 juta guru di Tanah Air” Indonesia ini. Maka, jangan sampai kebijakan tentang guru yang sifatnya fundamental ditetapkan terburu-buru dan sepihak tanpa melibatkan masyarakat guru itu sendiri [Kompas, 26 Nopember 2004]. Kemampuan guru dalam upaya mendidik jangan disederhanakan dengan kemampuan mengajar saja, sehingga dapat dinilai sepintas oleh siapa saja. Tetapi, mendidik bukan sekedar membutuhkan pemahaman tentang materi pelajaran, tetapi juga melibatkan hati dan nurani dalam wujud interaksi antara guru dan murid, karena mendidik membutuhkan penjiwaan.
Rencana pemerintah untuk melakukan sertifikasi guru perlu dihargai sebagai wujud perhatian terhadap nasib guru yang terpinggirkan dan selalu mendapatkan julukan ”pahlawan tanpa jasa”. Namun pemerintah tidak perlu membentuk badan baru untuk melakukan sertifikasi, artinya daripada membentuk badan baru, akan lebih baik jika Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan [LPTK] atau universitas keguruan eks IKIP diberdayakan untuk melakukan sertifikasi guru. Lembaga-lembaga kependidikan yang menyelenggarakan program Akta IV sebagai upaya untuk sertifikasi guru perlu ditingkatkan kualitas, sehingga memiliki kualifikasi untuk dapat mendidik para calon guru.

D. PENUTUP

Permasalah guru harus diselesaikan secara komprehensif yang menyangkut dengan semua aspek yang terkait, yaitu aspek kualifikasi, kualitas, pembinaan, training profesi, perlindungan profesi, manajemen, kesejahteraan guru, dan tersedianya fasilitas yang memadai. Sungguh berat tugas guru, tetapi penghargaan pada profesi guru kurang optimal, tetapi para guru selalu dinilai kinerjanya rendah dan kurang optimal. Perlu ada perhatian yang serius kepada para guru, yaitu mereka harus selalu mendapatkan pelatihan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan baru yang diperlukan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Perlu ada sistem peningkatan pengetahuan bagi guru secara tersistem dan berkelanjutan atau ada inservice training yang baik bagi para guru. Para guru harus siap untuk mempebaiki dan meningkatkan mutu kinerjanya agar memiliki kompetensi yang optimal dalam usaha membimbing siswa agar siap menghadapi kenyataan hidup [the real life] dan bahkan mampu memberikan contoh tauladan bagi siswa, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan dan menjadi dambaan setiap orang.
Rencana pemerintah untuk melakukan sertifikasi guru perlu dihargai sebagai wujud perhatian terhadap nasib guru yang terpinggirkan. Tetapi, pemerintah harus mengikutsertakan guru-guru atau tenaga kependidikan sebagai variabel penting dalam ”badan independen sertifikasi guru” tersebut dan badan tersebut tetap berada dalam Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan [LPTK] atau pemerintah tidak perlu membentuk badan baru untuk melakukan sertifikasi tetapi akan lebih baik jika Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan [LPTK] atau universitas keguruan eks IKIP diberdayakan untuk melakukan sertifikasi guru. Lembaga-lembaga kependidikan yang menyelenggarakan program Akta IV sebagai upaya untuk sertifikasi guru, perlu ditingkatkan kualitasnya baik dari sisi profesional penyelenggaraan, kurikulum, metode pembelajaran, sistem peneilaian dan manajemennya, sehingga memiliki ”kualifikasi” untuk dapat mendidik para calon guru yang profesional.
DAFTAR PUSTAKA
Asep Saeful Mimbar dan Agus Sulthonie, Tantangan Madrasah Dewasa Ini, Pikiran Rakyat, Artikel Edisi 25 Juli 2001, Form: http://www.pikiran-rakyat.com/ prcetak/ 072001/ 25/0801.htm. 2002.
E. Mulyasa, 2002, Manajemen berbasis Sekolah, Konsep Strategi dan Implementasi, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Fazlur Rahman, 1985, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, Terj., Ahsin Mohammad, Pustaka, Bandung.
Hujair AH. Sanaky, 2003, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta.
________, 2004, Tantangan Pendidikan Islam di Era Informasi [Pergeseran Paradigma Pendidikan Islam Indonesia di Era Informasi], Jurnal Stusi Islam, MUKADDIMAH, Kopertais Wilayah III dan PTAIS DIY, No. 16 TH.X/2004, ISSN:0853-6759, Yogyakarta.
Kompas, Rencana Badan Independen Sertifikasi Guru, From: http://www.kompas. com/ kompas-cetak/0411/24/humaniora/1398342.htm., akses, 17/11/2004.
_______, Hati-hati Sertifikasi Guru, From: http://66.102.9.104/search?q= cache: c60QtyluWW4J:www.kompas.com/kompas-ceta., akses. 27/11/2004.
Maman, 2005, Upaya Memantapkan Profesionalisme Guru, Pikiran Rakyat, Bandung, 24 Maret 2005, From: http://www.pikiran rakyat.com/cetak/2005/ 0305/ 24/1105. htm, selasa 26 april 2005, jam 10.30
Masthuhu, 1999, Pemberdayaan Sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta.
Muhammad Surya, Pengembangan Profesionalisme Guru, Kompas, 30 Januari 2003, Jakarta.
Naniek Setijadi, 2004, Tantangan Profesionalisme Guru Masa Depan, From: http:// tpj. bpkpenabur.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=18&Itemid=27, akses, selasa, 26 April 2005, jam 10.15.
Onno W. Purbo, Tantangan Bagi Pendidikan Indonesia, From:http://www.detik. com/ net/ onno/jurnal/2004/aplikasi/pendidikan/p-19.shtml., akases, 16 Mei 2002.
Paul Suparno, 2004, Guru Demokratis di Era Reformasi, Grasindo, Jakarta.
Purwanto, Profesionalisme Guru, From: http://www.pustekkom.go.id/teknodik/t10/10-7.htm, akses, senin, 14-2-2005.
P. Ruspendi, 2004, Profesionalisme Guru, Harapan dan Kenyataan, From: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/20/0310.htm, selasa 26 april 2005, jam 10.30
Sudjarwadi, “Ubah Wajah UGM dengan Jiwa Kepemimpinan”, Kedaulatan Rakyat, 5 Januari 2003, hlm.10.
Suyanto, 2004, Mobilitas Horizontal bagi Guru Bermutu Suara Merdeka, Kamis, 30 Desember 2004, From: http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/30/opi04.htm, selasa 26 april 2005, jam. 10.30
Winarno Surakhmad, 2002, Profesionalisme Dunia Pendidikan, From:http://www. Bpkpenabur.or.id/kps-jkt/berita/ 200006/ artikel2. htm, akses, 27 Mei 2002.

MOTIVASI GURU DALAM MENGELOLA PROSES BELAJAR MENGAJAR

ABSTRAK:
Untuk memotivasi guru dalam mengelola proses belajar mengajar dapat dilakukan dengan : Pemberian Penghargaan, yang dapat menumbuhkan inisiatif, kemampuan-kemampuan yang kreatif dan semangat berkompetisi yang sehat, pemberian penghargaan sebagai upaya pembinaan motivasi tidak selalu harus berwujud atau barang, tetapi dapat juga berupa pujian-pujian dan hadiah-hadiah im-material. Pemberian perhatian yang cukup terhadap siswa dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan bentuk motivasi yang sederhana, karena banyak yang tidak memiliki motivasi belajar diakibatkan tidak dirasakannya adanya perhatian. Ajakan Berpartisipasi. Pada diri manusia ada sesuatu perasaan yang dihargai apabila dia dilibatkan pada sesuatu kegiatan yang dianggap berharga. Oleh karena itu guru, harus selalu mengajak dan mengulurkan tangan bagi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran guna lebih bergairah dalam belajar dan memperkaya proses interaksi antar potensi siswa dalam proses pembelajaran.

A. PENDAHULUAN

Kegiatan pembelajaran yang melahirkan interaksi unsur-unsur manusiawi adalah sebagai suatu motivasi dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna dan pemahaman.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik dalam jalur formal. Guru dalam menjalankan fungsinya diantaranya berkewajiban untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dialogis, dan memberikan motivasi kepada siswa dalam membangun gagasan, prakarsa, dan tanggung jawab siswa untuk belajar.
Motivasi yang timbul dari dirinya untuk berbuat sesuatu muncul secara kodrati dari diri manusia itu sendiri disebut motivasi intrinsik, sedangkan manusia yang menyebabkan mampu melaksanakan tugas dengan maksimal karena ada dorongan dari luar disebut motivasi ekstrinsik.
Dengan demikian guru diharapkan merupakan orang yang karena profesinya sanggup menimbulkan dan mengembangkan motivasi untuk kepentingan proses aspek-aspek pembelajaran di dalam kelas yang keberadaan siswanya berbeda-beda secara individual, misalnya perbedaan minat, bakat, kebutuhan, kemampuan, latar belakang sosial dan konsep-konsep yang dipelajari.
Dengan motivasi dari guru merupakan faktor yang berarti dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Dua pembangkit motivasi belajar yang efektif adalah keingintahuan dan keyakinan dalam kemampuan diri. Setiap siswa memiliki rasa ingin tahu, maka guru perlu memotivasi dengan pertanyaan diluar kebiasaan atau tugas yang menantang disertai penguatan bahwa siswa mampu melakukannya. Dengan demikian salah satu upaya guru yaitu memberikan motivasi kepada siswa dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.

B. PENGERTIAN MOTIVASI

Pengertian motivasi menurut kamus bahasa indonesia adalah dorongan yang timbul dalam diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan tindakan, tujuan tertentu.
Menurut E. Kusmana Fachrudin (2000:44) motivasi dibedakan atas dua golongan yaitu :
1. Motivasi Asli. Motivasi asli adalah motivasi untuk berbuat sesuatu atau dorongan untuk melakukan sesuatu yang muncul secara kodrati pada diri manusia.
2. Motivasi Buatan. Motivasi buatan adalah motivasi yang masuk pada diri seseorang baik usaha yang disengaja maupun secara kebetulan.
Sejalan dengan pendapat Irianto (1997:247), motivasi eksternal adalah setiap pengaruh dengan maksud menimbulkan, menyalurkan atau memelihara perilaku manusia. Dipertegas oleh Mulia Nasution (2000:11), motivasi dari luar adalah pembangkit, penguat, dan penggerak seseorang yang diarahkan untuk mencapai tujuan.
Dari beberapa pendapat diatas maka, jelas motivasi merupakan faktor yang berarti dalam mendorong seseorang untuk menggerakkan segala potensi yang ada, menciptakan keinginan yang tinggi serta meningkatkan semangat sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai.

C. MOTIVASI GURU DALAM MENGELOLA

PROSES BELAJAR MENGAJAR
Motivasi yang sengaja dibentuk oleh orang luar dalam hal ini guru dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain :
1. Pemberian Penghargaan. Dengan pemberian penghargaan ini dapat besifat positif karena dapat menumbuhkan inisiatif, kemampuan-kemampuan yang kreatif dan semangat berkompetisi yang sehat, pemberian penghargaan sebagai upaya pembinaan motivasi tidak selalu harus berwujud atau barang, tetapi dapat juga berupa pujian-pujian dan hadiah-hadiah im-material.
2. Pemberian Perhatian. Pemberian perhatian yang cukup terhadap siswa dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan bentuk motivasi yang sederhana, karena banyak yang tidak memiliki motivasi belajar diakibatkan tidak dirasakannya adanya perhatian. Sebagaimana yang dijelaskan Dimyati dan Mudjiono (2002:42) prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perhatian dan motivasi pembelajaran yaitu perhatian merupakan peranan penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tidak mungkin adanya pembelajaran. Perhatian akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya, apabila bahan pelajaran dirasakan sebagai suatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk belajar lebih lanjut atau diperlukan sehari-hari akan membangkitkan motivasi untuk mempelajarinya. Apabila perhatian alami ini tidak ada, maka siswa perlu dibangkitkan perhatiannya.
3. Ajakan Berpartisipasi. Pada diri manusia ada sesuatu perasaan yang dihargai apabila dia dilibatkan pada sesuatu kegiatan yang dianggap berharga. Oleh karena itu guru, harus selalu mengajak dan mengulurkan tangan bagi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran guna lebih bergairah dalam belajar dan memperkaya proses interaksi antar potensi siswa dalam proses pembelajaran.
Selain hal-hal diatas, untuk membangkitkan motivasi yang efektif adalah melalui prnsip-prinsip motivasi dalam belajar. Setiap siswa memiliki rasa ingin tahu, oleh karena itu guru memberikan penguatan bahwa siswa pasti bisa.
Prinsip-prinsip motivasi dalam belajar adalah sebagai berikut :
1. Kebermaknaan. Siswa akan termotivasi untuk belajar jika kegiatan dan materi belajatr dirasa bermakna bagi dirinya. Keberadaan lazimnya terkait dengan bakat, minat, pengetahuan, dan tata nilai siswa.
2. Pengetahuan dan keterampilan Prasyarat. Siswa akan dapat belajat dengan baik jika dia telah menguasai semua prasyarat baik berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Oleh karena itu, siswa akan menggunakan pengetahuan awalnya untuk menafsirkan informasi dan pengalamannya. Penafsiran itu akan membangun pemahaman yang dipengaruhi oleh pengetahuan awal itu. Dengan demikian, guru perlu memahami pengetahuan awal siswa untuk dikaitkan dengan bahan yang akan dipelajarinya. Sehingga membuat belajar menjadi lebih mudah dan bermakna.
3. Model. Siswa akan menguasai keterampilan baru dengan baik jika guru memberikan contoh dan model untuk dilihat dan ditiru.
4. Komunikasi Terbuka. Siswa akan termotivasi untuk belajar jika penyampaian dilakukan secara terstuktur sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa sehingga pesan pembelajaran dapat dievaluasi dengan tepat.
5. Keaslian dan Tugas yang Menantang. Siswa akan termotivasi untuk belajar jika mereka disediakan materi, kegiatan baru atau gagasan murni/asli (novelty) dan berbeda. Kebaruan atau keaslian gagasan akan menambah konsentrasi siswa pada pembelajaran. Hal ini berpengaruh pada pencapaian hasil belajar. Konsentrasi juga dapat bertambah bila siswa menghadapi tugas yang menantang dan sedikit melebihi kemampuan. Sebaliknya bila tugas terlalu jauh dari kemampuan, akan terjadi kecemasan, dan bila tugas kurang dari kemampuan akan terjadi kebosanan.
6. Latihan yang Tepat dan Aktif. Siswa akan dapat menguasai materi pembelajaran dengan efektif jika KBM memberikan kegiatan latihan yang sesuai dengan kemamapuan siswa dan siswa dapat berperan aktif untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.
7. Penilaian Tugas. Siswa akan memperoleh pencapaian belajar yang efektif jika tugas dibagi dalam rentang waktu yang tidak terlalu panjang dengan frekuensi pengulangan yang tinggi.
8. Kondisi dan Konsekuensi yang Menyenangkan. Siswa akan belajar dan terus belajar jika kondisi pembelajaran dibuat menyenangkan, nyaman dan jauh dari perilaku yang menyakitkan perasaan siswa. Belajar melibatkan perasaan. Suasana belajar yang menyenangkan sangat diperlukan karena otak tidak akan bekerja optimal bila perasaan dalam keadaan tertekan. Perasaan senang biasanya akan muncul bila belajar diwujudkan dalam bentuk permainan khususnya pendidikan usia dini. Selanjutnya bermain dapat dikembangkan menjadi eksperimentas yang lebih tinggi.
9. Keragaman Pendekatan. Siswa akan belajar jika mereka diberi kesempatan untuk memilih dan menggunakan berbagai pendekatan dan stategi belajar. Pengalaman belajar tidak hanya berorientasi pada buku teks tetapi juga dapat dikemas dalam berbagai kegiatan praktis seperti proyek, simulasi, drama dan atau penelitian/pengujian.
10. Mengembangkan Beragam Kemampuan. Siswa akan belajar secara optimal jika pelajaran disajikan dapat mengembangkan berbagai kemampuan seperti kemampuan logis matematis, bahasa, musik, kinestetik, dan kemampuan inter maupun intra personal. Tiap siswa memiliki lebih dari satu kecerdasan yang meliputi kecerdasan : musik, gerak badan (kinestetik), logika-matematika, bahasa, ruang, intra pribadi, dan antar pribadi. Sekolah perlu menyediakan berbagai pengalaman belajar yang memungkinkan kecerdasan itu berkembang; sehingga anak dengan berbagai kecerdasan yang berbeda dapat terlayani secara optimal.
11. Melibatkan Sebanyak Mungkin Indera. Siswa akan menguasai hasil belajar dengan optimal jika dalam belajar siswa dimungkinkan menggunakan sebanyak mungkin indera untuk berinteraksi dengan isi pembelajaran.
12. Keseimbangan Pengaturan Pengalaman Belajar. Siswa akan lebih menguasai materi pembelajaran jika pengalaman belajar diatur sedemikian rupa sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk membuat suatu refleksi penghayatan, mengungkapkan dan mengevaluasi apa yang dia pelajari.

D. KESIMPULAN

1. Guru adalah merupakan orang yang karena profesinya sanggup menimbulkan dan mengembangkan motivasi untuk kepentingan proses pembelajaran di kelas sehingga tercapai tujuan pembelajaran dengan cara: pemberian penghargaan, pemberian perhatian, dan ajakan berpartisipasi.
2. Prinsip-prinsip motivasi dala pembelajaran, teridiri atas: kebermaknaan, pengetahuan dan keterampilan prasyarat, model, komunikasi terbuka, keaslian dan tugas yang menantang, latihan yang tepat dan aktif, penilaian tugas, kondisi dan konsekuensi yang menyenangkan, keragaman pendekatan, mengembangkan beragam kemampuan, melibatkan sebanyak mungkin indera, dan keseimbangan pengaturan pengalaman belajar.

E. DAFTAR PUSTAKA

Dimyati, Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Bandung. PT Rineka Cipta
Depdiknas. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta
E. Kusmana, Pachrudin. 2000. Asas, strategi-metode. UPI. Bandung
Irianto. 1997. Edisi Kedua. Pengantar Manajemen. IBII STIE. Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1997. Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Balai Pustaka. Jakarta
Mulia Nasution. 2000. Manajemen Modern. Pionir Jaya. Bandung
Otong Kardisaputra. Belajar dan Pembelajaran. FKIP Unla. Bandung
Sardiman. 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar. Grafindo Persada. Jakarta
Dikelola oleh Pusat Pengembangan dan Peningkatan Pembelajaran Elektronik.
FKIP Universitas Langlangbuana.

PERANAN MEDIA AUDIO DAN VISUAL DALAM PEMBELAJARAN

Dalam proses pendidikan, tidak terlepas dari kata belajar mengajar. Keduanya merupakan komponen utama dalam pendidikan. Belajar merupakan suatu proses yang menghasilkan perubahan. Menurut Ngalim Purwanto (1995: 85) mengemukakan bahwa belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku dimana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang buruk.
Suatu proses pembelajarantiak luput dari kata mengajar, guru sebagai tenaga pendidik memfasilitasi serta memberi pengetatahuan terhadap peserta didik. Menurut Abu Ahmad (1997: 39) pembelajaran adalah suatu proses penanaman pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam peserta didik.
Agar proses pembelajaran berlangsung dengan baik, maka hendaknya guru memberikan materi pelajaran secara bervarasi, dapat menggunakan media/alat peraga sebagai alat bantu dalam mengajar serta menggunakan metode yang tepat. Menurut Abu Ahmadi dkk, (1997: 52) metode mengajar adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang digunakan oleh seorang guru atau instruktur.
Kata ‘media’ berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk dari kata ‘medium’ yang secara harfiah berarti ‘perantara atau pengantar’. Dengan demikian, media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan. Djamarah (1997: 136). Sedangkan menurut Hamalik (1989: 124) media pendidikan adalah cara atau proses yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari sumber pesan kepada penerima pesan yang berlangsung dalam proses pendidikan.
Penggunaan media dalam proses pembelajaran cukup penting. Hal ini dapat membantu para siswa dalam mengembangkan imajinasi dan daya pikir serta kreatifitasnya. Informasi yang disampaikan guru akan diterima langsung oleh siswa langsung oleh siswa melalui sel saraf dan dibawa ke otak. Dari situlah siswa mulai bergerak dengan cara menanyakan sesuatu yang dipahami, sehingga proses komunikasi dalam pembelajaran mulai efektif.
Menurut Team IKIP Surabaya (1989: 83) alat-alat peraga sebagai pembantu dalam mengajar efektif dalam garis besarnya memiliki faedah atau nilai-nilai berikut:
1. Menambah kegiatan belajar siswa;
2. Mengemas waktu belajar (ekonomis);
3. Menambah keadaan permanen dari hari belajar;
4. Menambah anak-anak ketinggalan dalam pelajarannya;
5. Memberikan alasan yang sewajarnya untuk belajar dengan membangkitkan minat, motivasi membaca dengan sendiri dan turut serta dalam keaktifan-keaktifan di kelas.

Media pendidikan merupakan alat bantu yang digunakan dalam rangka mengefektifkan komunikasi antara siswa dengan guru. Adapun yang termasuk ke dalam media pendidikan yaitu gambar-gambar, diagram yang berhubungan dengan pembelajaran IPA.
Guru sebagai tenaga pendidik hendaknya mampu memilih media yang tepat dalam proses pengajaran. Pengatahuan dan pemahaman yang cukup dalam memilih media, yang sesuai materi pelajaran akan menciptakan komunikasi yang seimbang antara siswa dengan guru. Pengetahuan tersebut menurut Oemar Hamalik (1985: 16), dikutip Anawir dan Usman (2002: 18), yaitu:
1. Media sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan tujuan pendidikan mengajar;
2. Media berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan;
3. Penggunaan media dalam proses belajar mengajar;
4. Hubungan antara metode mengajar dengan media pendidikan;
5. Nilai dan manfaat media pendidikan;
6. Memilih dan menggunakan media pendidikan;
7. Mengetahui berbagai jenis alat dan tehnik media pendidikan;
8. Mengetahui penggunaan media pendidikan dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan;
9. Melakukan usaha-usaha inovasi dalam media pendidikan;

Media sebagai alat bantu dalam mengajar, peranannya cukup penting apabila guru memanfaatkannya dalam proses pembelajaran. Akan timbul berbagai pertanyaan mengenai manfaat media. Yaitu media apa yang dimanfaatkan oleh guru?, kapan, dimana dan bagaimana media itu dimanfaatkan?.
Encyclopia of Educational Research dalam Hamalik (1994: 15) merincikan manfaat media pendidikan, sebagai berikut:
1. Meletakan dasar-dasar yang konkrit dan berfikir; oleh karena itu mengurangi verbalisme;
2. Memperbesar perhatian siswa;
3. Meletakan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar, oleh karena itu membuat pelajaran lebih mantap;
4. Memberikan pengalaman nyata yang dapat menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri di kalangan siswa;
5. Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan kontinyu terutama melalui gambar hidup;
6. Membantu tumbuhnya pengertian yang dapat membantu perkembangan kemampuan berbahasa;
7. Memberikan pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara lain dan membantu efisiensi dan keragaman yang lebih banyak dalam belajar (Azhar Arsyad (2005: 25).
Untuk mencapai tujuan pembelajaran tidak mesti menggunakan media yang mahal, tetapai bagaimana guru itu pandai memanfaatkan media yang sederhana dan sudah tersedia di sekolah.
Media yang kita kenal dewasa ini sudah banyak macamnya, mulai dari jenis, daya liput dan bahan serta cara pembuatannya. Menurut Djamarah (1997: 140) membagi mecam-macam media, antara lain:
1.
Dilihat dari jenisnya, dibagi dalam:
a. Media auditif;
b. Media visual;
c. Media audio visual;

2. Dilihat dari daya liputnya, dibagi dalam:
a.
Media dengan daya liput luas dan serentak;
b. Media dengan daya liput yang terbatas oleh ruang dan tempat;
c. Media untuk pengajaran individual;
3. Dilihat dari bahan pembuatannya, media dibagi dalam:
a. Media sederhana
b. Media kompleks
Menurut Oemar Hamalik (1985: 63) ada 4 klasifikasi mengajar pengajaran, yaitu:
1. Alat-alat visual yang dapat dilihat;
2. Alat-alat bersifat auditif atau hanya dapat didengar;
3. Alat-alat yang bisa dilihat dan didengar;
4. Dramatisasi, bermain peran, ssiodrama, sandiwara, boneka dan sebagainya.
Sehubungan dengan klasifikasi media, Asnawir dan Usman (2002: 29) membagi jenis media pengajaran kepada:
1. Media asli dan tiruan;
2. Media bentuk papan;
3. Media bagan dan grafis;
4. Media proyeksi;
5. Media dengar (audio)
6. Media cetak atau printed materials
Dari beberapa pendapat di atas, secara garis besar terbagi menjadi 3 bagian, yaitu media audio, media visual dan media audio – visual.

B. Macam-macam Media Pendidikan
Bagian ini akan menguraikan mengenai mecam-macam media yang umumnya didengar dan dilihat oleh masyarakat. Media-media tersebut meliputi:

1. MEDIA AUDIO
Media audio merupakan alat bantu yang digunakan dengan hanya bisa mendengar saja. Media ini membantu para siswa agar dapat berfikir dengan baik, menumbuhkan daya ingat serta mempertajam pendengaran.
Dalam proses pembelajaran, media tersebut diajarkan ke siswa berupa pesan. Pesan yang disampaikan dituangkan dalam lambang-lambang auditif, baik verbal maupun non verbal. Sehingga proses pembelajaran dapat terprogram dengan baik.
Media ini merupakan bentuk pembelajaran yang murah dan terjangkau. Materi yang disapaikan disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Audio dapat memberikan pesan yang menarik dan memotivasi siswa.
Di samping menarik dan memotivasi siswa untuk mempelajari materi lebih banyak, materi audio dapat digunakan untuk:
1) Mengembangkan keterampilan mendengar dan mengevaluasi apa yang telah didengar;
2) Mengatur dan mempersiapkan diskusi atau debat dengan mengungkapkan pendapat-pendapat para ahli yang berada jauh dari lokasi;
3) Menjadikan modal yang akan ditirukan oleh siswa
4) Menyiapkan variasi yang menarik dan perubahan-perubahan tingkat kecepatan belajar mengenai pokok bahasan. Azhar Arsyad (2005: 149).

Untuk lebih dapat memotivasi siswa, seyogyanya dibuat program yang lebih menarik dari segi bahasa. Program audio menjadi lebih indah karena dapat menimbulkan daya fantasi pada para siswa. Program ini akan lebih efektif apabila bunyi dan suaranya dapat merangsang para siswa untuk dapat menggunakan daya imajinasinya. Sehingga ia dapat memvisualkan pesan-pesan yang kitam sampaikan. Jenis media audio dapat dikelompokkan antara lain radio, alat perekam pita magnetik dan laboratorium kelas.

A) RADIO
Radio merupakan alat elektronik yang digunakan untuk mendengar berita secara aktual, mengetahui informasi serta peristiwa-peristiwa penting dan baru.

B) ALAT PEREKAM PITA MAGNETIK
Alat ini digunakan untuk merekam suara.
Dalam proses pembelajaran, alat ini lebih efektif karena dapat diputar berulang-ulang sesuai dengan keinginan. Pesan dan isi pelajaran yang telah terekam dimaksudkan untuk merangsang perasaan, perhatian dan kemauan sebagai upaya mendukung terjadinya proses belajar. Alat ini memiliki kelebihan dan kelemahan. Menurut Sadiman (2003: 53).
Kelebihan dari alat ini antara lain:
a. Mempunyai fungsi ganda yang efektif;
b. Pita perekam dapat diputar berulang-ulang;
c. Rekaman dapat dihapus secara otomatis;
d. Dapat menyajikan kegiatan-kegiatan/hal-hal di luar sekolah;
e. Program kaset bisa menambah kegiatan lain.
Kelamahan alat ini yaitu:
a. Daya jangkaunya terbatas;
b. Dari segi biaya pengadaannya bila untuk sasaran yang banyak jauh lebih mahal.

C) LABORATORIUM BAHASA
Alat ini digunakan untuk melatih siswa mendengarkan dan berbicara dengan bahasa asing. Penggunaan alat ini yaitu, siswa duduk sendiri-sendiri pada bilik yang dilengkapi dengan headphon.
Setiap siswa berbeda-beda dalam menangkap suatu materi pelajaran atau pembelajaran. Ada yang menggunakan musik, suasana yang ramai dan sepi. Hal tersebut tergantung kepada kondisi dari para siswa masing-masing.
Penggunaan media audio memberikan kesan yang menarik bagi kebanyakan siswa. Segala jenis bunyi, nada, irama, musik biasanya diciptakan untuk diingat. Seorang auditorial dapat dicirikan sebagai berikut:
a. Perhatiannya mudah terpecah;
b. Berbicara dengan pola berirama;
c. Belajar dengan cara mendengar, menggerakan bibir/bersuara saat membaca;
d. Berdialog secara internal dan eksternal. Bobbi de Porter, dkk. (2001: 85).

2. Media Visual atau Grafis
Media ini digunakan dalam proses pembelajaran hanya melibatkan indra penglihatan. Melalui media ini seseorang akan tahu yang sebenarnya. Misalnya siswa tahu akan kucing, setelah diberi gambar maka akan tahu bahwa kucing memiliki empat mata, ekornya panjang serta hewan yang lucu.
Dalam proses pembelajaran media ini sangat dibutuhkan oleh para siswa, keberadaannya akan membantu mempercepat proses pemahaman dan memperkuat ingatan. Sehingga tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan materi pelajaran, seperti yang dikatakan Azhar Arsyad (2005: 91) bahwa visual dapat menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Sementara itu Sudjana dan Riva’i (1989: 57) memperkenalkan dua macam konsep pemikiran yang masih dipakai, yaitu, Pertama; pentingnya pengelompokan jenis-jenis alat bantu visual yang dipakai dalam kegiatan instruksional. Kedua, perlunya pengilustrasian bahan-bahan ke dalam kurikulum sehingga penggunaannya tidak terpisahkan.
Berkaitan dengan media visual, setiap media mempunyai fungsi dan tujuan masing-masing. Menurut Sadiman (2003: 28) secara khusus grafis berfungsi untuk menarik perhatian, memperjelas sajian ide, mengilustrasikan atau menghias fakta yang mungkin akan cepat dilupakan atau diabaikan bila tidak digrafiskan. Sedangkan menurut Sudjana dan Riva’i (1989: 57) alat bantu visual bertujuan untuk:
1) Memperkenalkan, membentuk, memperkaya serta memperjelas pengertian atau konsep yang abstrak kepada siswa;
2) Mengembangkan sikap-sikap yang dikehendaki;
3) Mendorong kegiatan siswa lebih lanjut;
Media visual mempunyai jenis yang bermacam-macam, diantaranya:

A. BAGAN
Bagan adalah suatu media pengajaran yang penyajiannya secara diagramatik dengan menggunakan lambang-lambang visual, untuk mendapatkan sejumlah informasi yang menunjukkan perkembangan ide, objek, lembaga, orang, keluarga ditinjau dari sudut waktu dan ruang (Asnawir dan Usman, 2002: 33).

B. GRAFIK
Grafik merupakan gambar sederhana yang penggunaanya mengandung sejumlah ide, objek, simbol dan keterangan-keterangan serta memiliki fungsi untuk menggambarkan data kuantitatif secara teliti, sesuai dengan objek yang diamati.

C. DIAGRAM
Diagram merupakan susunan garis-garis yang saling berhubungan. Berfungsi untuk memperjelas hubungan yang ada antar komponen yang terkait atau sifat-sifat proses yang ada didalamnya.

D. POSTER
Poster merupakan gabungan antar gambar dan tulisan untuk menarik masyarakat agar berminat terhadap poster tersebut. Pesan yang disampaikan melalui gambar dan tulisan hendaknya dibuat dekoratif dan kalimat yang menarik serta singkat dan jelas.

E. KARIKATUR DAN KARTUN
Karikatur dan kartun merupakan garis yang dicoret dengan spontan yang menekankan kepada hal-hal yang dianggap penting, bedanya dengan poster dan karikatur terletak pada karikatur kadang-kadang lebih menggigit dan kritis. Asnawir dan Usman (2002: 47)

Terdapat media visual lain yaitu media visual dua dimensi. Media ini menyajikan rangsangan-rangsangan visual dan penggunaanya memerlukan aliran listrik. Perbedaan yang jelas di antara keduanya yaitu bila pada media visual dapat secara langsung berinteraksi dengan pesan media yang bersangkutan pada media proyeksi. Pesan tersebut harus diproyeksikan dengan proyektor agar dapat dilihat oleh sasaran, terlebih dahulu (Sadiman, 2003: 56). Adapun jenis dari media visual dua dimensi antara lain:
1) OVERHEAD PROYEKTOR (OHP)
Media ini alat untuk memproyeksikan obyek menggunakan bahan transparan. Alat ini dirancang sedemikian rupa sehngga dalam memproyeksikan dapat melewati atas kepala. Menurut Sudarwan Danim (1995: 22) penggunaan transparan tidak jauh berbeda dengan penggunaan papan tulis, perbedaannya jika papan tulis membutuhkan waktu yang cukup lama dan mesti menggambar terlebih dahulu.
Sebagai sarana pembelajaran, OHP memiliki kelebihan dan kekurangan, diantaranya:
a) Kelebihan
- Dapat menyajikan proeses dalam urutan sistematis;
- Hanya memerlukan peralatan proyeksi yang sederhana;
- Program penyajian dapat dikontrol oleh pemakai;
- Persipan cepat dan mudah, tidak memerlukan ruangan yang gelap;
- Memungkinkan pencatatan selama penyajian;
- Sangat sesuai untuk kelompok belajar yang relatif besar;
- Dapat dipakai berbagai teknik penyajian.
b) Kelemahannya
- Memerlukan keterampilan dan peralatan khusus untuk teknik penyajian yang istimewa;
- Susunan urutan mudah kacau;
- Penyimpangan merupakan masalah (Miarso, 1986: 60).
Untuk membangkitkan semangat siswa, tulisan atau gambar seharusnya menggunakan variasi warna yang mencook sehingga proses pembelajaran lebih mengesankan.

2) BINGKAI FILM
Bingkai film adalah media komunikasi yang menggunakan satu seri gambar diam dalam film positif yang disajikan dengan memproyeksikan satu persatu secara berurutan dengan pesan-pesan audio melalui rekaman pada pita suatu atau kaset. (Pawit, 1990: 106).
Kelebihan dari alat, yaitu:
- Hanya memerlukan pemotretan dengan kamera 35 mm;
- Pengembangan mounting cukup diserahkan ke laboratorium;
- Mudah direvisi dan di update;
- Mudah disimpan dan diatur kembali untuk keperluan lain;
- Dapat digabungkan dengan rekaman narasi untuk meningkatkan efektivitas.
Kelemahan alat, yaitu:
- Memerlukan keterampilan fotografi;
- Memerlukan peralatan khusus untuk pengambilan close-up dan meng-kopi;
- Sering terbalik atau tertukar urutannya. (Miarso, dkk. 1986: 58)
Media visual dua dimensi selain tersebut di atas, terdapat jenis lainnya yaitu bingkai film rangkai. Proyektor opaque, atchitoscope, microprojection dengan microfilm.
Penggunaan alat bantu visual dalam proses pembelajaran akan memperkenalkan, memperkaya, membentuk serta memperjelas makna-makna yang tidak dipahami siswa, mengembangkan sikap keingintahuan serta mendorong kegiatan siswa lebih lanjut.
Seorang yang telah belajar dengan media visual memiliki modalitas yaitu mengakases citra visual yang diciptakan maupun diingat.
Warna, hubungan, ruang, potret mental dan gambar menonjol dalam modalitas ini. Seorang yang berkarakter visual mempunyai ciri, yaitu:
a. Teratur; memperhatikan segala sesuatu, menjaga penampilan.
b. Mengingat dengan gambar; lebih suka membaca daripada membacakan.
c. Membutuhkan gambaran dan tujuan menyeluruh dengan menangkap detail, mengingat apa yang dilihat.
(Bobbi de Potter, 2004: 85).

3) MEDIA AUDIO VISUAL
Penggunaan media audio visual dalam kegiatan belajar mengajar melibatkan indera pendengaran dan penglihatan. Menurut Arsyad (2005: 30) pengajaran melalui audio-visual adalah produksi dan penggunakan materi yang penyerapannya melalui pendengaran dan pandangan serta tidak seluruhnya tergantung kepada pemahaman kata atau simbol-simbol yang serupa.
Pemahaman yang dipakai melalui audio-visual merupakan cara yang tepat digunakan di kelas, karena penggunaannya media ini memecahkan aspek verbalisme pada diri siswa. Contohnya pada awal pembelajaran, siswa diterangkan mengenaui invertebrata, setelah itu guru memperlihatkan gambar cacing, ubur-ubur, bekicot dan lainnya. Selanjutnya akan dipertontonkan film mengenai materi tersebut dan akhirnya siswa menjadi paham.
Adapun beberapa jenis audio-visual, yaitu:
1) Televisi
Televisi adalah media yang menyampaikan pesan-pesan pembelajaran secara audio-visual dengan disertai unsur gerak.
Sehubungan dengan televisi, Sudarwan Danim (1995: 20) mengemukakan bahwa televisi adalah alat elektronik yang berfungsi menyebarkan gambar dan diikuti oleh suara tertentu.
Televisi merupakan alat yang banyak dimiliki oleh setiap keluarga. Selain harganya terjangkau keberadaannya dapat menghibur masyarakat luas. Sedankan televisi pendidikan dianggap barang mewah, karenanya sulit dijangkau. Hal ini disebabkan karena biaya untuk memproduksi suatu televisi pendidikan mahal.
Sebagai media pendidikan, televisi mempunyai kelebihan dan kekurangan, yaitu:
a. Kelebihan:
- Merupakan medium yang menarik, modern dan selalu siap diterima oleh anak-anak karena mereka mengenalnya sebagai bagian dari kehidupan luar sekolah.
- Hampir setiap mata pelajaran dapat ditampilkan di televisi.
- Dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guru dalam hal belajar.
b. Kelemahan:
- Harganya relatif murah
- Sifat komunikasinya hanya satu arah
- Program di luar kontrol guru (Sadiman, 2003: 73).

2) Video
Video merupakan suatu alat yang dihubungkan dengan televisi. Cara kerja alat ini yaitu dengan memasukan Compack Disk (CD) ke dalam Video Compack Disk (VCD). Compack Disk merupakan suatu benda yang berbentuk bulat seperti piringan yang tengahnya berlubang serta tipis.
Alat ini juga bisa disebut audio, jika dihubungkan dengan tape recorder, karena hanya suara yang ditampilkan. Kelebihan dan kekurangan dari alat ini yaitu:
a. Kelebihan:
- Memiliki semua kemampuan yang dimiliki media audio-video visual maupun film.
- Dapat merangkum beberapa jenis media dalam satu program.
- Dapat digunakan berbagai efek dan teknik yang tidak dipunyai oleh media lain.
- Dapat menghadirkan nara sumber yang sukar dan langka.
- Penggunaannya tidak menggunakan ruangan gelap.
b.Kelemahan:
- Tidak berdri sendiri melainkan merupakan bagian dari rangkaian kegiatan produk video.
- Harus memenuhi persyaratan teknis produksi
- Memerlukan peralatan kompleks dan mahal (Miarso, dkk., 1986: 62).

SUMBER MATERI

Kumpulan Skripsi Online Full Content

Posted March 27th, 2009 by warnet_hiu

STRATEGI PEMBELAJARAN GURU YANG MENARIK dan MENANTANG BAGI SISWA DALAM SUATU PROSES PEMBELAJARAN DI KELAS

STRATEGI PEMBELAJARAN GURU YANG MENARIK

dan MENANTANG BAGI SISWA DALAM SUATU

PROSES PEMBELAJARAN DI KELAS

Upaya –upaya untuk membudayakan pola learning pada tingkat satuan pendidikan hendaknya haruslah dimulai sejak dini yakni pada tingkat satuan pendidikan sekolah dasar. Adapun langkah –langkah yang harus kita tempuh sebagai suatu persiapan pembelajaran yang matang,sehingga nantinya dalam pelaksanaannya memudahkan guru memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran, diantaranya adalah :

1. Menguasai materi pelajaran,tugas atau latihan-latihan yang akan diberikan kepada siswa dipersiapkan

2. Menyusun dan mempersiapkan Rencana Pembelajaran

3. Menggunakan metode yang tepat,sehingga anak mampu menemukan, menyimpulkan,bahkan mampu untuk mengkomunikasikan kepada orang lain.

Dengan demikian guru telah membangun strategi pembelajaran yang mengarah kepada siswa mengkonstruksi pengetahuan bukan menerima pengetahuan.

Berikut strategi yang harus dilakukan guru agar tercipta kondisi belajar yang diharapkan :

a Guru memancing siswa berbicara gunakan brain storming. Untuk ini guru harus menguasai teknik bertanya dan memamfaatkan jawaban siswa untuk mengarahkan siswa pada kesimpulan mereka. Brain storming bisa juga dipakai dalam membangun pengetahuan awal siswa ( back ground knowladge ) pada tahap appersepsi.

b Cara lain untuk memancing siswa untuk mau berbuat,guru membuatkan tasks (tugas-tugas ) untuk siswa yang mengarah kepada tercapainya penguasaan pokok bahasan atau konsep atau tema yang dijadikan dasar untuk mengukur kompetensi siswa,yang dikerjakan oleh siswa dalam kelompok ,pasangan,maupun individu.

c Diskusikan hasil kerja mereka dengan cara setiap kelompok ,pasangan atau individu melaporkan temuannya dan meminta kelompok lain menyempurnakan temuan tersebut sesuai pengalaman belajar mereka sebelumnya.

d Atas bimbingan guru pada akhir pembelajaran ,siswa menyimpulkan konsep yang diajarkan.

e Untuk membimbing siswa yang efektif dalam proses pembelajaran adalah melalui pertanyaan-pertanyaan ( quistionings ) yang diberikan guru baik pertanyaan yang menuntun ( proming question ) dan pertanyaan yang menggali ( probing question ). Nurhadi ( 2002 ; 14 ) menegaskan “ hampir pada semua aktivitas belajar,questioning dapat diterapkan antara siswa dengan guru ,antara siswa dengan siswa ,siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. Aktifitas bertanya ditemukan ketika sisiwa berdiskusi .kerja dalam kelompok,ketika menemukan kesulitan ,ketika mengamati dsb.

f Pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa akan tumbuh dan berkembang semakin dalam dan kuat apabila diuji dengan pengalaman baru. Nurhadi ( 2002 : 12 ),baik melalui asimilasi maupun akomodasi. Asimilasi maksudnya struktur pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi maksudnya struktur pengetahuan –pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman baru.

g Bagaimanapun guru punya kelemahan dalam melaksanakan proses pembelajaran maka untuk memberi umpan balik perlu ada “ team teaching “ yang akan memberi feed back setelah proses pembelajaran berlangsung.

h Proses pembelajaran akan lebih semarak jika guru memiliki sense of humor sebab tidak ada orang yang bisa belajar dalam kondisi tertekan,terancam dan rasa takut. Hal inilah yang mendorong anak akan kreatif dan inovatif sehingga pembelajaran akan menjadi menyenangkan dan penuh gerakan –gerakan keilmuan .

Sense of humor ini dapat dimiliki oleh seorang guru dengan cara melatih diri dengan memulainya dari sikap guru yang bersifat peramah bukan pemarah.

Zaenal Aqib ( 2003 :126 ) menyatakan “ seorang guru haruslah pleasani lokk ( sedap dipandang ) ini berarti seorang guru tidak harus tampandan cantik, perasaan sedap dipandang ini akan membawa pengaruh positif terhadap perasaan siswa ,misalnya mereka akan merasa betah berada didalam kelas,walaupun pelajaran guru tersebut telah usai”.

i Moedjiarto menambahkan “ keberhasilan siswa sangat erat dengan penampilan guru dalam mengelola proses belajar mengajar didepan kelas. Oleh karena itu hubungan antara guru dan siswa harus akrab,bersahabat dan tidak menakutkan.

4. Untuk lebih oftimalnya kita memperoleh hasil belajar dari suatu proses pembelajaran maka aktifitas belajar itu sendiri melibatkan pikiran dan perasaan siswa. Jika tidak,maka proses tersebut pada hakekatnya bukan belajar.

Untuk itu penggunaan metode dan media yang bervariasi dapat melibatkan pikiran dan perasaan siswa lebih optimal. Media pengajaran diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyatukan pesan

( message ),merangsang pikiran, perasaan,perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar mengajar yang optimal.

Zaenal Aqib ( 2003 ; 59 ) mengangkat pendapat Edgar Dale yang memandang bahwa nilai media dalam pengajaran diklasifikasikan berdasarkan nilai pengalaman.

Tingkat pengalaman yang paling tinggi nilainya dalam pembelajaran adalah pengalaman langsung yang kongkrit yaitu pengalaman yang didapat dari kontak langsung dengan objek,lingkungan,binatang,manusia,dan lain sebagainya. Sedangkan tingkat pembelaran yang paling rendah adalah pengalaman abstrak.